Rendi Solihin, Senja di Tanah Rantau

Home Pariwara Kutai Kartanegara Rendi Solihin, Senja di Tanah Rantau
Rendi Solihin, Senja di Tanah Rantau
Kutai Kartanegara

Kukar, Notis.id- Langit Marangkayu sore itu lembut. Senja jatuh pelan-pelan, membawa angin yang menyejukkan. Tapi di halaman Masjid At-Taqwa, suasananya hangat. Ribuan orang berkumpul. Ada yang duduk bersila, ada yang berdiri, ada yang sibuk menyiapkan takjil.

Di tengah kerumunan, Fandi tersenyum. Ia 34 tahun. Sudah hampir sepuluh tahun tinggal di Marangkayu. Tapi rindu tetap saja ada. Rindu pada rumah. Pada kampung halaman.

Sore itu, sesuatu yang istimewa terjadi. Wakil Bupati Kutai Kartanegara, Rendi Solihin, datang. Tidak sendirian. Ia membawa seorang yang ditunggu-tunggu banyak orang: Ambo Nai.

Siapa Ambo Nai? Bagi sebagian orang, mungkin hanya seorang YouTuber asal Sulawesi. Tapi bagi para perantau, ia lebih dari itu. Ia suara kampung halaman. Logatnya akrab. Candanya khas. Ia membawa suasana rumah ke tempat yang jauh dari rumah.

“Saya pikir saya akan membawa Ambo Nai untuk syukuran, tapi ternyata Tuhan berkata lain. Syukurannya ditunda dulu karena saya harus menuntaskan kewajiban di Marangkayu,” ujar Rendi.

Warga tertawa. Mereka tahu, ini bukan kampanye. Ini janji yang ditepati.

Fandi menatap ke panggung. Melihat Ambo Nai berbicara, dengan logat Sulawesi yang kental. Seperti mendengar suara tetangga di kampung. Seperti mendengar omelan ibu di dapur. Seperti kembali ke tempat di mana dulu ia lahir dan dibesarkan.

“Terima kasih, Pak Wabup. Ini seperti mudik, meski kaki tetap di Kukar,” katanya, setengah bercanda. Tapi sungguh-sungguh.

Acara ini lebih dari sekadar buka bersama. Ada tausiyah dari Rudini Dai Pramuka. Ada tawa. Ada haru. Ada perasaan bahwa di perantauan, mereka tidak sendiri.

Lalu Rendi berbicara lagi. Ia mengumumkan bahwa ia akan cuti selama 20 hari untuk menghadapi Pemilihan Suara Ulang Pilkada Kukar. “Insya Allah, saya kembali memimpin Kukar tanggal 16 April,” katanya.

Banyak yang mendengar. Tapi bagi Fandi dan warga lainnya, malam itu bukan soal politik. Malam itu adalah tentang kebersamaan. Tentang bagaimana Ramadan bisa menghadirkan kehangatan, bahkan bagi mereka yang jauh dari rumah.

Adzan berkumandang. Fandi mengambil piringnya. Matanya berbinar. Ia tersenyum.

Mungkin ia tak bisa mudik tahun ini. Tapi malam itu, kampung halaman yang datang kepadanya. (Lr/Roy).

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *