Tenggarong, Notis.id- Hal ini berbeda. Jauh dari tradisi kampanye politik kebanyakan. Lautan manusia yang biasa hanya mendengarkan orasi politik yang begitu-begitu saja, kali ini tidak terasa. Calon Bupati Kutai Kartanegara nomor urut 01, dr Aulia Rahman Basri membuat atmosfer tersendiri, ia bukan lihai meracik kata, mengikat emosi, atau menarik hati, begitulah dia apa adanya dalam Kampanye dialogisnya. dr Aul – begitu ia dipanggil-.
Bukan dari podium tinggi, seperti kebanyakan politikus yang biasa tampil, dr Aulia justru turun langsung ke tengah lingkaran tarian. Dengan senyum lebar, ia menerima selendang merah yang disematkan kepadanya sebagai simbol kehormatan. Tidak hanya itu, ia pun ikut menari bersama para seniman setempat, menghapus jarak antara calon pemimpin dan rakyat yang seringkali terasa begitu jauh.
“Ini bukan sekadar silaturahmi, ini adalah cara kami menjaga dan merawat kebudayaan yang menjadi jati diri kita,” ujar dr Aulia saat beristirahat sejenak. Dalam setiap kata-katanya, terdengar jelas tekad untuk memastikan bahwa budaya lokal tetap hidup dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Kampanye bukan hanya tentang program pembangunan, tetapi juga tentang menjaga tradisi yang membentuk identitas sebuah daerah. Keunikan malam itu adalah bagaimana seni dan budaya menjadi sarana untuk mendekatkan calon pemimpin dengan rakyatnya. Bukan sekadar pidato atau janji, melainkan lewat sentuhan budaya lokal yang benar-benar menggetarkan hati. Dr Aulia tidak hanya berdiri di sisi, ia duduk bersama warga, mendengarkan setiap cerita dan menyaksikan tarian yang ditampilkan oleh generasi muda setempat.
Baginya, setiap gerakan tari adalah bahasa yang lebih dalam dari sekadar hiburan—itu adalah ekspresi dari kehidupan, rasa, dan harapan masyarakat. Dalam pagelaran ini, yang tak kalah menarik adalah kehadiran tokoh-tokoh masyarakat dan relawan yang turut meramaikan suasana. Mereka duduk bersama, bergabung dengan warga lintas usia yang memenuhi lapangan, merasakan kehangatan dan kebersamaan yang jarang ditemukan dalam kampanye politik biasa.
Di balik setiap denting musik dan gerakan tari, malam itu membawa pesan yang lebih dalam: pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menyesuaikan langkahnya dengan langkah rakyatnya. “Kalau pemimpin sudah bisa ikut menari bersama rakyatnya, itu tandanya ia tak segan melangkah di jalan yang sama dengan yang kita tempuh setiap hari,” ujar salah satu warga dengan senyum lebar.
Malam itu, tarian bukan sekadar pemuas mata di pentas. Namun, Ia adalah bahasa yang menyatukan. Di Maluhu, seperti yang diyakini oleh banyak orang, kebudayaan bukan hanya milik masa lalu, tetapi milik masa depan. Dan di tengah arus derasnya perubahan, pemimpin yang mampu menyatu dengan budaya, dengan masyarakat, adalah pemimpin yang benar-benar mengerti jati diri bangsanya.
Tenggarong malam itu tidak hanya diramaikan oleh musik dan tari, tetapi juga oleh harapan. Harapan bahwa pemimpin yang datang tidak hanya akan berbicara tentang pembangunan, tetapi juga tentang merawat warisan budaya yang akan terus hidup dan berkembang, seiring dengan tumbuhnya masyarakat yang sejahtera. (Adl/Le).
© Copyrights by Notis.id. All Rights Reserved.