Tradisi Jamas Pusaka 1 Suro, Lestarikan Budaya Jawa di Kalimantan

Home People Tradisi Jamas Pusaka 1 Suro, Lestarikan Budaya Jawa di Kalimantan
Tradisi Jamas Pusaka 1 Suro, Lestarikan Budaya Jawa di Kalimantan
People

Samarinda, Notis.id – Indonesia dengan beragam tradisi dan budaya yang dimilikinya, selalu bisa menarik perhatian, salah satunya ritual Malam Satu Suro: jamas pusaka. Tradisi Jawa yang lestari di Kalimantan.

Deretan pusaka beralas kain kuning telah dipersiapkan, tak kurang dari 43 pusaka siap untuk diritualkan, dicuci, namun tak sembarang cuci, ada tata cara sopan dan santunya, atau dikenal dengan istilah anggah angguh.

Tri Gunawan, atau yang lebih dikenal dengan nama Raga Pati, putra asli Banyu Mas, tepatnya di Lereng Gunung Slamet Jawa Tengah ini menyilakan penulis masuk ke rumahnya di daerah Jalan Biawan, Samarinda.

“Ini beberapa pusaka yang saya miliki, ada keris, Naga Runting, Lulang Macan, cincin batu akik (tuah), kepompong wesi kuning, taring babi, Trisula Wedha, Payung Nogo, Kujang, keris kecil (Patrem), batu hitam tuah, telur rajahan, gelang naga, Daun Taguh Sehari (dari kulit, daun, batang). Wayang Rama Shinta. Jadi ada banyak, tidak hanya senjata ada beberapa barang unik yang saya koleksi,” ungkap Raga Pati dengan baju hitam dan rambut gondrong khasnya.

Kekayaan tradisi inilah yang menarik perhatian tim Notis.id untuk mengulas budaya Jawa menjelang Malam Satu Suro, yang dikenal istimewa.

Sambil memegang keris, Rogo Pati menerangkan, ada tata cara membuka keris dari  Warangka: sarung keris atau Kumpang dalam tradisi Banjar ini.

“Jadi gak sembarangan untuk membuka keris, tata caranya ada. Jadi, bukan kerisnya yang ditarik ke bawah, melainkan Warangkanya yang ditarik ke atas, ini yang tidak banyak orang tahu,” jelasnya sambil memperagakan caranya.

Setelah itu, dirinya mencontohkan bagaimana cara jamas atau mencuci pusaka yang telah ia lakoni sejak kecil dan turun temurun dari leluhurnya. Keris yang ia miliki juga punya nama masing-masing, seperti yang ia pegang bernama Eyang Geseng, sebuah pusaka tertua yang diturunkan dari orang tua dari garis keluarganya.

“Untuk jamasan kita perlu mempersiapkan medianya, seperti kembang Ketelon (Mawar, Melati, Kenangan), Warangan (cairan racun tikus), jeruk nipis, beras kuning, beras putih, kopi, dan teh,”terangnya.

Dalam proses jamas pusaka, dirinya menjelaskan, juga ada doa khususnya, bahkan dimulai dari menyalakan dupa. Saat membuka pusaka, sebagai penghormatan biasanya keris ditempel ke dahi.

“Ingat ini bukan menyembah, hanya bentuk penghormatan, ini yang harus diketahui, semua ada makna filosofisnya,” ujarnya.

Setiap pusaka, diyakini memiliki “orangnya”, sehingga ketika ingin dicuci menggunakan jeruk nipis, sang pemilik akan mempersilahkan “orang” yang di dalam untuk keluar terlebih dahulu, ketika sudah kering, maka akan dipersilahkan masuk kembali.

Jamasan ini bertujuan untuk merumat (merawat), menjaga benda pusaka yang turun temurun ini agar tidak rusak dan hilang dimakan zaman. Bahkan, memiliki filosifi membersihkan diri dengan berdoa dan mendekatkan diri dengan Sang Pencipta.

“Dalam tradisi Jawa, kami biasanya memulai jamasan ini setelah Maghrib, prosesinya akan berbeda tiap orang, semakin banyak pusakanya jadi semakin lama, kalau saya, dengan 40 an pusaka seperti ini, kurang lebih satu jam baru selesai,” tuturnya.

Penulis: Aditya Lesmana

Fotografer: Aditya Lesmana

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *